Demokrasi, Akuntabilitas Publik dan
Pengawasan Keuangan Negara
Oleh: Eko Yulianto
Terbukanya jalan menuju demokrasi sebagai buah reformasi ternyata menyisakan sejumlah agenda penting yang musti segera diselesaikan dengan segera. Proses pemulihan ekonomi akibat krisis tampaknya belum menampakkan hasil yang signifikan karena beberapa persoalan fundamental belum bisa dituntaskan oleh kabinet pimpinan Gus Dur. Salah satu persoalan dimaksud adalah masih rendahnya akuntabilitas sektor publik. Dapat kita saksikan betapa kepentingan pribadi dan kelompok masih mendominasi proses politik baik di level daerah maupun pusat. Masih maraknya perebutan jabatan publik melalui money politics, tidak transparansnya pengambilan beberapa kebijakan publik dan masih maraknya kasus korupsi setidaknya menandai betapa akuntabilitas publik masih menjadi barang langka di Indonesia. Pandangan yang menyesatkan tentang jabatan publik dan kekayaan negara oleh sementara oknum tidak dapat disangkal lagi merupakan penyebab utama dari rendahnya akuntabilitas sektor publik, yang pada akhirnya berdampak pada sulitnya proses pemulihan ekonomi.
Dalam sebuah proses demokrasi, akuntabilitas publik memang menjadi hal yang sangat krusial. Ia menjadi sebuah persoalan yang teramat penting untuk diabaikan begitu saja karena menjadi prasyarat dasar dari keberhasilan demokrasi itu sendiri. Dapat dikatakan, demokrasi tanpa akuntabilitas sektor publik adalah absurd. Memperjuangkan hadirnya demokrasi tanpa disertai upaya menghadirkan proses pemerintahan yang accountable ibarat menjalankan sebuah mesin baru dengan oli bekas. Demokrasi tidak akan menemukan formatnya yang tepat jika akuntabilitas sektor publik tidak dikedepankan sebagai sebuah keharusan.
Mengukur Akuntabilitas Sektor Publik
Sebuah kriteria yang bisa dipakai untuk mengukur derajat akuntabilitas publik adalah akuntabilitas pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah. Keuangan negara mempunyai peranan penting dalam hal ini karena ia merepresentasikan semua aktivitas dan kebijakan politik dan ekonomi pemerintah. Efektivitas dan efisiensi kebijakan publik akan terefleksikan dari besaran angka dalam laporan pertanggungjawaban APBN/APBD. Setiap tahun Presiden menyampaikan laporan pelaksanaan APBN di hadapan DPR sebagai bentuk progress report dari kebijakannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD.
Namun demikian sebuah persoalan muncul ketika dipertanyakan apakah pelaksanaan APBN/APBD oleh pemerintah itu selama ini memang benar-benar accountable, mengingat belum pernah terjadi seorang presiden atau kepala daerah turun jabatan gara-gara adanya kasus penyalahgunaan keuangan negara di sebuah instansi yang dipimpinnya. Padahal secara faktual, tidak jarang kasus korupsi dan sejumlah kasus penyalahgunaan jabatan publik terjadi pada instansi yang dipimpinnya selama ini. Pada titik ekstrem dapat dipertanyakan, bagaimana menjelaskan korelasi antara rekor korupsi di Indonesia dan laporan pertanggungjawaban APBN/APBD yang selalu diterima (accepted) oleh DPR/DPRD? Bagaimana mungkin di ruang sidang lembaga legislatif menerima pertanggungjawaban keuangan pemerintah sementara di luar sana ternyata banyak uang rakyat yang tercecer dan dimakan para pencoleng?
Dalam pandangan saya, pengesahan sebuah laporan pertanggungjawaban keuangan negera oleh para wakil rakyat jelas harus merupakan implikasi dari suksesnya pelaksanaan anggaran oleh pemerintah. Sukses di sini berarti tidak ada (atau minimnya) kebocoran dana sebagai akibat pemborosan dan penyelewengan keuangan atau kekayaan negara lainnya. Pengesahan pertanggungjawaban keuangan negara secara implisit harus diartikan sebagai sebuah persetujuan bahwa pemeritahan telah dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Melihat fakta tersebut, tak pelak lagi bahwa yang harus dijadikan kambing hitam dalam hal ini tentunya efektivitas fungsi pengawasan keuangan negara di Indonesia. Sistem pengawasan memegang peranan kunci dalam menjembatani laporan pertanggungjawaban keuangan negara dan penyelenggaraan aktivitas pemerintah secara riil. Jika sistem pengawasan efektif, tentu akan mendorong pelaksanaan pemerintahan yang efektif sehinga tingkat penyelewengan keuangan negara minimal dan pada akhirnya laporan pertanggungjawaban APBN/APBD bisa diterima karena memang benar-benar accountable.
Desain Sistem Pengawasan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebenarnya jumlah instansi yang bergerak pada bidang pengawasan keuangan negara terbilang banyak, bahkan boleh dikatakan berlapis-lapis. Akan tetapi lembaga-lembaga tersebut ternyata tidak bisa berfungsi optimal karena tidak berada dalam struktur yang tepat. Rancunya jalur pertanggungjawaban lembaga pengawasan fungsional dan ketergantungan/keterbatasan anggaran merupakan bukti akan hal itu.
Teoretis, kegiatan pengawasan harus dilakukan secara simultan oleh dua lembaga berbeda yaitu intern dan ekstern. Secara prinsip keduanya harus independen terhadap entitas yang diawasi, dalam hal ini pemerintah selaku pelaksana anggaran negara. Independensi ini sungguh penting mengingat hasil pengawasan harus disajikan secara fair. Akan tetapi pada kenyataannya independensi ini tidak pernah ada dalam dunia pengawasan di Indonesia. Sebagai bukti konkrit, BPKP dan inspektorat wilayah harus mempertanggungjawabkan atau melaporkan hasil pemeriksanaannya kepada presiden atau kepala daerah bersangkutan. Dari struktur orgasnisasi demikian sudah dapat dipastikan bahwa kegiatan pengawasan tidak akan efektif. Dengan kewenangannya, pemerintah dalam hal ini presiden atau kepada daerah tentu bisa mengabaikan hasil pemeriksaan lembaga pemeriksaan intern tersebut karena jika suatu temuan penyelewengan ditindaklanjuti sampai dengan tuntutan hukum misalnya, justru akan menjadi bumerang baginya. Sementara itu, BPK selaku lembaga tinggi yang mempunyai kewenangan tertinggi untuk memeriksa keuangan negara dan berada di luar jalur eksekutif, pada kadar tertentu juga tidak bisa dikatakan independen karena besar kecilnya anggaran juga masih ditentukan oleh Departemen Keuangan.
Dengan kenyataan tersebut, reformasi sistem pengawasan menjadi hal penting, bahkan suatu keharusan, yang patut dipertimbangkan pada saat ini. Keberadaan sistem pengawasan yang solid tidak saja dapat mendorong pelaksanaan pemerintahan yang efisien dan efektif, melainkan juga akan meningkatkan akuntabilitas sektor publik. Dengan lain kata, sistem pengawasan yang baik juga akan menjadi faktor penentu keberhasilan proses demokrasi di Indonesia.
Pada titik ini, saya ingin sekali mengemukakan beberapa pemikiran konkrit berkaitan dengan penciptaan desain sistem pengawasan yang ideal. Pertama, perlu dilakukan reposisi terhadap aparat pengawasan fungsional intern yang selama ini berada di bahwa garis eksekutif. Pengawasan intern sebaiknya dilakukan oleh lembaga yang bertanggungjawab kepada DPR/DPRD. Eksekutif, sebagai pelaksana tugas pemerintahan, seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan pengawasan karena secara logika hal itu merupakan sesuatu hal yang rancu. Konsep ini paralel dengan praktik di dunia bisnis modern, dimana auditor intern berada di bawah dewan komisaris. Perintah pelaksanaan tugas pemeriksaan datang dari dewan dan untuk kepentingan dewan selaku pemegang kedaulatan. Dengan pola seperti ini, kegiatan pemeriksaan intern akan dapat berjalan independen dan aparat pemeriksa akan mempunyai tanggungjawab moral secara langsung kepada publik.
Kedua, sistem pengawasan harus menghadirkan lembaga pengawasan ekstern yang secara riil juga independen. Lembaga ini harus mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan anggaran pemeriksaan dan persetujuan atas anggaran yang diajukan harus datang dari DPR. Ketidaktergantungan anggaran sedikit banyak akan menjadikan lembaga pengawasan dimaksud lebih powerful dan mampu menjaga integritas sistem pemerintahan tanpa ada campur tangan eksekutif.
Yogyakarta, Oktober 2000